Rabu, 18 Februari 2015

Kisah Para Rasul 6:1-7 (Pelayan Meja)


Kisah  Para Rasul 6:1-7
Nats Pemb :Matius 23:11

Ditulis Oleh : Pnt. V. C. L. Sigarlaki, S. Th


Pelayan Meja


P
ara penulis Alkitab memberikan kesaksian bahwa dalam melaksanakan pelayanan-Nya di dunia, Yesus tidak bekerja seorang diri melainkan dibantu oleh orang-orang lain. Ia memanggil siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memilih mereka dengan bebas, tanpa melihat latar belakang atau pun status sosial dari orang yang dipanggil dan dipilih-Nya. Diantaranya, Yesus pun memilih murid-murid-Nya secara khusus dari sekian banyak orang yang percaya dan mengikut Dia (Mat. 4:18-22; Mrk. 1:16-20; Luk. 5:1-11). Pemilihan para murid inilah yang terus diberlakukan oleh orang-orang percaya di segala tempat dan masa.

Pada dasarnya, semua orang percaya dipanggil dan diberi tanggung jawab untuk melayani Tuhan dan sesama sesuai dengan karunia yang diberikan Allah (band. Rm. 12:6-8; I Ptr. 4:10). Walaupun demikian, ada orang-orang yang dipilih secara khusus untuk menjadi pelayan, yang bertanggung jawab mengatur dan menata pelayanan yang dilakukan agar dapat berjalan dengan baik dan teratur. Mereka yang menerima ‘jabatan pelayanan’dipilih pertama-tama atas prakarsa Allah. Pemilihan ini didasarkan pada pemanggilan Allah dan karenanya tugas pelayanan yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.

Alkitab juga menyaksikan bahwa ada saatnya dilakukan pemilihan kembali untuk menggantikan ‘pelayan’ yang telah dipilih. Pemilihan dan penggantian pejabat pelayanan ini telah dilakukan sejak jemaat Kristen mula-mula. Hal ini sangat menarik untuk ditelusuri lebih mendalam karena dapat menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti: mengapa harus ada penggantian pelayan? Apa tujuan diadakannya pemilihan itu? Selanjutnya, tentu akan dipertanyakan pula tentang siapa yang akan dipilih, apakah ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi atau tidak dan cara apakah yang dipakai dalam proses pemilihan tersebut?
Dalam Kisah Para Rasul 1:15-26 kita sudah membahas penggantian pejabat pelayanan dan dalam bacaan kita saat ini Kisah Para Rasul 6, mengedepankan tentang penambahan pejabat pelayanan, dalam hal ini mereka yang bertugas untuk pelayanan meja perjamuan.

Para Rasul sendiri sadar bahwa tanggungjawab dan kerja mereka semakin besar seiring dengan bertambahnya jumlah pengikut Kristus. Para Rasul ingin memusatkan pelayanan mereka pada doa dan firman (lih. ay.4). Karena itu, dipilihlah 7 orang yang ditugaskan khusus melayani meja, terlebih menaruh perhatian besar kepada orang miskin. Mereka adalah Stefanus, Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus.

Mengenai jabatan pelayanan ternyata tidak hanya dibicarakan dan menjadi perhatian gereja mula-mula, karena dalam gereja sekarang pun pembicaraan tentang jabatan pelayanan hangat dibicarakan baik di lingkungan gereja maupun di tengah masyarakat. Karenanya, tidak heran apabila terdapat berbagai pemikiran serta pemahaman yang pro dan kontra sehubungan dengan hal ini. Ada pemikiran dan pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan secara teologis, tetapi ada juga yang tidak. Dalam pengertian, masih ada yang memiliki pemikiran dan pemahaman yang sempit sehubungan dengan hal tersebut.

Apabila kita mencermati pelayanan gereja dewasa ini, maka kita akan mendapati adanya fenomena-fenomena yang muncul, yang mempertanyakan apakah pemilihan pejabat pelayanan (dalam hal ini yang dimaksudkan adalah para pelayan khusus penatua dan diaken) yang dilakukan masih sesuai dengan tujuan, atau telah bermuatan ‘kepentingan’? Apakah para ‘pejabat gereja’ telah memahami apa tugas dan tanggungjawabnya?
Pembacaan Alkitab saat ini, kembali mengingatkan para pelayan Tuhan: Pendeta, Penatua, Diaken, Pengurus Pelka/Pelsus, semuanya adalah dipilih atas kehendak Tuhan. Maka seharusnya jabatan pelayanan itu dipakai untuk melayani dan memuliakan Tuhan. Menjangkau semua umat Tuhan, tanpa membeda-bedakan status, jabatan, harta benda dan sebagainya.

Kita baru saja memasuki pertengahan masa pelayanan kita, karena itu kita didorong untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab pelayanan dengan baik. GMIST sebagai sebuah lembaga memiliki aturannya dalam penentuan, tugas dan tanggungjawab sebuah jabatan pelayanan. Ketaatan kepada lembaga pun menjadi bentuk ketaatan kepada Tuhan. Sebagai lembaga (GMIST), sama halnya dengan organisasi kecil Para Rasul, yang senantiasa memohon tuntunan Tuhan dalam setiap pengambilan keputusannya, termasuk dalam penetapan pejabat pelayanan.

Di samping itu, peran serta seluruh warga jemaat pun diharapkan berperan aktif dalam setiap persekutuan orang percaya, dalam membangun hubungan yang baik dengan sesama dan dalam menopang setiap kegiatan pelayanan. Niscaya apa yang sudah dirintis oleh para Rasul, diteruskan oleh para misionaris/zending, akan senantiasa berakar dalam persekutuan hidup jemaat. Berbagai jabatan pun menjadi komitmen untuk melayani dan membawa banyak orang untuk masuk dalam persekutuan dengan Yesus. (vcls)

Kisah Para Rasul 5:1-11 (Kejujuran)


Pemb. Alk. : Kis Par 5:1-11 
Nats Pemb :Amsal 11:3

Ditulis Oleh :Pdt. Julisan Derek

Kejujuran


D
i era tahun 70-an, grup band D’Loyds menghipnotis generasi muda dengan penggalan pop yang untaian syairnya: bukannya emas, bukan istana sebagai tandanya cinta, hanyalah satu selalu kupinta, jujur berkata dan tindakan.
Dari syair lagu ini, kita bisa mengerti bahwa langgengnya hubungan cinta, hubungan persaudaraan, persahabatan, tidak hanya semata ditentukan oleh materi, tetapi kejujuran dalam berucap dan bertindak. Bukan berarti yang namanya materi tidak penting, tetapi materi akan membawa manfaat jika dilandasi pada kejujuran. Banyak orang mengejar, mengupayakan materi sebanyak mungkin, tapi ujung-ujungnya ia tidak menemukan kebahagiaan, karena kejujuran ia abaikan. Kejujuran menjadi sangat penting karena berkaitan dengan sikap dan perilaku seseorang. Dalam dunia yang semakin modern, apakah sadar atau tidak sering terdengar ucapan: masihkah diperlukan kejujuran?

Bacaan di saat ini membantu kita menjawab pertanyaan tersebut. Ananias dan Safira, pasangan suami istri dikenal di kalangan komunitas Kristen karena ketidak jujuran mereka. Dimana-mana kita mendengar kalau orang tidak jujur, maka rujukannya: jangan jadi Ananias dan Safira.
Dari cerita sebelumnya, penulis Kisah mengulas bagaimana cara hidup jemaat pertama yang terinspirasi untuk memberitakan tentang Yesus dengan berbagai cara agar dari pemberitaan itu jemaat bertumbuh. Warga jemaat yang diilhami oleh kuasa Roh Kudus melalui kesaksian para Rasul, bertekad untuk bersatu dalam banyak hal, mereka sehati dan sejiwa. Bukan hanya bersaksi lewat kata-kata, tetapi mereka juga sepakat untuk menjual harta milik mereka dan dipersembahkan kepada Tuhan. Mereka memahami apa yang mereka punyai adalah milik bersama.

Jemaat mula-mula sadar bahwa pertumbuhan iman juga ditentukan dengan tersedianya materi untuk memfasilitasi pelayanan. Sungguh luar biasa kesatuan hati, tekad dan pikiran mereka. Tidak terkecuali pasangan suami istri, Ananias dan Safira. Mereka sepakat untuk menjual sebidang tanah, tapi persoalannya mereka tidak jujur, baik terhadap Tuhan, terhadap rasul-rasul, termasuk tidak jujur pada diri mereka sendiri. Hasil yang diperoleh dari penjualan tanah tidak sepenuhnya dipersembahkan kepada Tuhan, tetapi hanya sebagian. Mereka pun bersekongkol.

Konspirasi (persekongkolan) yang dianggap tidak akan membawa akibat apa-apa, ternyata berakibat fatal. Baik Ananias, maupun Safira, mati secara tragis dalam jangka waktu yang hampir bersamaan. Ketidak jujuran yang membawa petaka. Setiap orang bisa berkonspirasi untuk banyak hal, termasuk dalam hal keuangan, tapi ingat Roh Kudus tidak bisa didustai. Meminjam syair lagu: di hadapan manusia boleh kau bersandiwara, tapi jangan kepada Tuhan. Kejujuran adalah kunci sukses dari sebuah keberhasilan, tapi ketidakjujuran membawa bencana. Orang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi orang yang tidak jujur dirusak oleh kecurangannya (Amsal 11:3).

Peristiwa kematian tragis yang menimpa Ananias dan Safira adalah pelajaran bagi semua orang untuk bersikap jujur dalam banyak hal. Pasca kematian keduanya ada dampak positif bagi jemaat yang ketakutan mendengar peristiwa itu. Ada efek jera untuk tidak ikut-ikutan dalam ketidakjujuran.

Kita bersyukur atas kejujuran penulis Kisah Para Rasul yang mengisahkan peristiwa ini. Kejujuran penulis tidak dimaksud agar kita boleh berkonspirasi dengan ketidakjujuran. Bukan juga sebagai sebuah pembenaran karena manusia itu lemah dan terbatas. Penulis ingin jujur mengemukakan bahwa dinamika pelayanan di bidang apa saja masih sering diwarnai oleh ketidakjujuran, baik di lingkungan rumah tangga, dalam relasi persahabatan, bahkan dalam komunitas keagamaan.

GMIST sebagai lembaga keagamaan terbesar dibumi Sangihe dan Sitaro sedang dan sementara berupaya untuk menempatkan posisinya sebagai gereja yang terus bersekutu, bersaksi dan melayani. Tugas ini tidak mudah, membutuhkan persepsi yang sama dari semua komponen, pelayan dan warga jemaat. Sebuah tantangan besar ketika kita menghendaki GMIST yang maju dan mandiri dalam semua aspek, maka pertanyaannya adalah: apakah kejujuran dalam menata pelayanan masih merupakan tekad bersama? Ibarat berjalan di panas terik yang melelahkan, seperti petani yang harus bertani di musim kemarau, kerjanya keras, tapi hasilnya sedikit. Berkeringat banyak, kepanasan, kelelahan tanpa sukacita yang mendalam. Itulah kenyataan kita.

Setiap orang pasti ingin sukses dan berhasil. Setiap orang ingin hidup sejahtera. Hidup seperti itu kedengarannya mewah, tapi prakteknya sukar. Menjadi semakin sukar ketika kita berprinsip: semua bisa diatur. Apalagi kalau kekuasaan dan uang dipandang sebagai senjata pamungkas. Kejujuran dan ketulusan, disitulah kuncinya. Karena itu, bersikaplah jujur mulai dari diri sendiri. Jujur dengan siapa saja, jujur dalam menata pekerjaan dan pelayanan kita. Mari kita membuka arah pandangan kita seluas mungkin. Jangan hanya melihat pada persoalan yang sementara kita hadapi. Ketika kita mampu membuka pandangan kita ke depan, maka harapan akan berpancarnya komunitas GMIST yang maju akan membuahkan hasil yang baik.(jdrk)

Matius 12:38-42 (Masih Ada Kesempatan)


Pemb. Alk. : Matius 12:38-42
Ditulis Oleh :Pdt. F. P. Sumalenda, S. Th, M. Si

Masih Ada Kesempatan


U
ntuk menyatakan atau membuktikan sesuatu biasanya orang memakai tanda.  Tanda yang diminta oleh para ahli Taurat dan orang Farisi kepada Yesus adalah tanda ajaib atau mujizat yang dalam bahasa Yunani disebut “Semeion”.

Adalah merupakan ciri khas orang Yahudi bahwa mereka meminta tanda atau mujizat dari orang yang menyatakan dirinya sebagai guru atau Rabbi atau utusan Allah. Seolah-olah jika tanpa tanda orang akan sulit menerima dan memercayai utusan atau rabbi tersebut. Hal ini dikarenakan para Ahli Taurat dan orang Farisi lebih suka percaya kepada Allah melalui  hal  yang terjadi di luar dugaan  atau melalui sesuatu yang  abnormal,  yang  tidak wajar, dan yang menyimpang. 
Yesus menyebut generasi  mereka  itu sebagai angkatan yang jahat dan tidak setia, yang murtad. Murtad itu sama dengan membuang iman.  Terhadap permintaan mereka, Yesus menjawab bahwa tanda satu-satunya yang akan diberikan kepada angkatan itu adalah tanda nabi Yunus. Dalam arti tidak ada tanda lain yang akan diberikan kepada mereka selain tanda  peringatan.

Yunus adalah seorang nabi yang memberi peringatan menyampaikan berita penghukuman Tuhan kepada orang Niniwe, tetapi ia sendiri tidak luput dari hukuman Allah ketika berlaku tidak taat dan tidak setia pada panggilan Tuhan.   Bagi orang Niniwe Yunus adalah tanda dari Allah dan kata-kata Yunus adalah berita dari Allah, sehingga mereka memercayai pemberitaan-Nya dan bertobat. 
Apa yang mau disampaikan Yesus di sini ialah bahwa orang Niniwe lebih mendengar, lebih mengenal peringatan Allah, lebih taat kepada perintah Allah ketimbang para Ahli Taurat dan kaum Farisi.  Ratu negeri Syeba lebih mengenali hikmat Allah dari pada para Ahli Taurat dan Farisi.  Tentu adalah suatu hal yang sangat ironis jika orang-orang yang menyandang gelar sebagai ahli kitab suci itu, lalu pengenalan mereka akan Allah tidak lebih baik. Dan bahwa di sini orang-orang dari bangsa lain juga memiliki iman dan pengenalan yang baik tentang Allah sungguh adalah sebuah pengajaran yang penting dan berarti bagi orang percaya. 

Yesus berkata “para Ahli Taurat dan kaum Farisi telah menjadi begitu  buta  sehingga tidak dapat melihat  kebenaran dan telah menjadi begitu tuli sehingga tidak dapat lagi mendengar peringatan Tuhan, yang telah nyata melalui kehidupan  dan pelayanan Yesus.  Di sini  juga kita mendengar  Yesus berkata :   “tanda itu ada di sini,  ada pada-KU, dan Aku lebih dari  Yunus  sebab Aku  menerima dan menanggung hukuman dari  kesalahan-kesalahan kamu,  dan “Aku ada di sini” di dalam-Ku ada hikmat yang lebih dari Salomo dan kamu dapat menimbanya.  Namun karena kamu lebih memilih menolak Aku dari pada bertobat maka akan datang kepadamu waktu penghakiman. 

Kebenaran Firman Tuhan ini memberi makna dan pesan bagi kita, betapa pentingnya waktu dan kesempatan yang diberikan Tuhan dalam kehidupan kita. Tuhan menganugerahkan  waktu dan kesempatan tidak hanya untuk  kesibukan dan urusan-urusan duniaini, tetapi juga memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk mengenal Allah. Karena itu, hendaklah kita juga mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang dapat membangun hubungan kita dengan Allah, seperti:  berdoa, membaca Firman dan beribadah, sebab melalui itu, iman dan pengenalan akan Allah dapat bertumbuh dan berkembang. (fps)



Yunus 4:1-11 (Kekuatan Cinta)


Pemb. Alk. : Yunus 4:1-11
Nats Pemb : Mazmur 37:5-7
Ditulis OLeh :Pdt. Hendro. M. D. Dededaka, M. Th
Kekuatan Cinta


B
etapa besarnya kekuatan cinta dan kasih sayang, mampu meruntuhkan tembok-tembok kebencian, amarah dan iri hati. Itu yang menjadi kesan sepintas dari kisah akhir Yunus dan kota Niniwe yang kita baca hari ini.

Yunus, yang disaksikan sebagai salah satu hamba Allah, penerima pesan Allah, telah mengetahui keberadaan kota Niniwe yang penuh dengan kejahatan. Kejahatan itu telah menimbulkan dendam, amarah dan sakit hati pada Yunus dan juga bangsa di sekitarnya. Sebagai manusia, dia menghendaki bahwa Allah mendatangkan hukuman yang berat atas bangsa itu. Namun apa yang dikehendaki oleh Yunus, ternyata bukanlah itu yang dikehendaki oleh Allah. Memang Allah menyuruh Yunus memberitakan penghukuman kepada Niniwe, tetapi Yunus pun tahu Allah menghendaki satu hal yang lebih jauh dari itu, yakni pertobatan bangsa Niniwe. Yunus juga tahu, bahwa Allah pasti akan mengampuni mereka. Itulah sebabnya ia melarikan diri. Namun, kepada siapa Allah berkenan, maka dialah yang Allah pilih. Ke mana pun Yunus bersembunyi, tetaplah Allah mendapatinya dan melalui dia kehendak Allah harus disampaikan.

Dengan berat hati Yunus menjalankan tugasnya. Kekesalannya pun memuncak ketika pada akhirnya Allah mengampuni bangsa Niniwe. Ia pun marah kepada Allah dan ingin mati saja. Dalam kekesalannya, ia keluar dari kota Niniwe dengan maksud untuk menenangkan diri. Dalam pengasingannya itu, Allah menggunakan kekuasaannya terhadap alam untuk menyadarkan Yunus dari kemarahannya. Fenomena pohon jarak dijadikan ilustrasi oleh Allah. Di dalam kemarahannya, Yunus dihibur dengan bertumbuhnya sebuah pohon jarak yang lama-kelamaan semakin tinggi dan sangat nyaman dijadikan tempat berteduh. Ia pun melewatkan waktunya untuk bersantai di bawah pohon itu. Sejenak segala kemarahannya sirna diterpa kesejukan udara di bawah pohon itu. Namun, pada suatu masa, oleh karena kehendak Allah, pohon itu kering dimakan ulat dan panas terik pun menyengat kepala Yunus.

Dari realita ini Allah mengajak Yunus untuk berevaluasi terhadap peristiwa yang baru ia alami. Allah mendapati bahwa Yunus begitu menyesal dengan keringnya pohon jarak itu, karena ia begitu sayang pada pohon yang sebelumnya membawa kesejukan. Rupanya Allah menggunakan pohon jarak sebagai simbol dari bangsa Niniwe. Allah pun menyesal apabila Ia harus membuat kota Niniwe kering dan penduduknya mati. Oleh karena itu, Ia mengampuni mereka atas dasar cinta dan kasih sayang. Apakah Yunus menyesal dan sadar ketika Allah hadir memberi peringatan kepadanya? Hal itu ternyata tidak disaksikan dalam cerita Alkitab ini. Tapi, tentu saja kesaksian Alkitab ini memberi pengajaran yang begitu penting di dalam kehidupan kita berkeluarga, berjemaat dan bermasyarakat.

Harus kita sadari dan akui bahwa dalam hidup kita, terkadang kita pun bertingkah seperti Yunus yang suka marah, egois, merasa diri paling benar, tidak tahu berterima kasih dan pendendam. Memang, sebagai manusia yang penuh dengan keterbatasan, wajarlah apabila dalam diri kita terkadang muncul rasa iri, dengki atau sakit hati, ketika orang lain lebih baik atau pun mendapat kelimpahan dibanding hidup kita. Wajar juga apabila kita marah apabila orang lain di sekitar kita berbuat kejahatan terhadap kita. Wajar juga kita merasa kesal apabila sesuatu yang kita inginkan tidak tercapai.

Namun, dari semua perilaku kita ini, kita diingatkan bahwa Allah menghendaki agar kekuatan cinta dan kasih sayang (the power of love) mengalahkan semua kekesalan, kekecewaan dan kemarahan kita, dan bukannya cinta akan kekuasaan (the love of power). Kekuatan cinta ini akan menjadikan kita mampu mengampuni orang yang telah bersalah dan bertobat serta meminta maaf kepada kita. Kekuatan cinta ini pun mampu mengubah amarah menjadi suatu keprihatinan dan pengertian satu dengan yang lain. Dan dengan kekuatan cinta ini pun kita terus diingatkan bahwa kita mengampuni, mengasihi dan melayani orang lain karena kita telah lebih dahulu menerima semuanya itu dari Allah, Sang Pemberi dan Pemelihara hidup. Kasih Allah terhadap kita tidak berkesudahan. Bahkan, ketika kita melakukan apa yang tidak layak untuk kita lakukan seperti yang dilakukan Yunus dengan bersikap kesal dan marah terhadap Allah karena menganggap bahwa apa yang Allah buat tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan diharapkan, Ia tetap mengasihi dan memberkati kita. Sudahkan kita menyadari semua kebaikan Tuhan dalam hidup kita? Ataukah kita akan bersikap masa bodoh dengan apa yang terjadi? Keputusannya ada di tangan kita masing-masing. Allah masih memberikan kita kesempatan untuk hidup dan berkarya.

Dari kesaksian Alkitab ini, kita pun diajak untuk jeli melihat tanda-tanda yang terjadi di alam ini. Banyak peristiwa alam yang terjadi akhir-akhir ini yang membuat kita takjub, gelisah ataupun takut. Mungkin dengan semuanya ini Allah sementara berkarya lewat ciptaan-Nya untuk menyadarkan kita dari kekerasan hati kita, atau mungkin Allah berkehendak agar kita lebih memperhatikan orang lain di sekitar kita. Pohon jarak, menjadi lambang cinta kasih yang ditumbuhkan Allah untuk mengingatkan kita selaku umat ciptaan-Nya bahwa Allah menginginkan kita untuk menjadi seperti pohon jarak, dengan menjadi pembawa kesejukan (kenyamanan, keamanan, ketenangan dan sukacita) bagi diri kita dan bahkan bagi semua orang yang berada di sekitar kita, penghapus amarah dan pembawa berkat bagi semua orang. (hmdd)