“Cara Tuhan Menegur”
Pdt. D. J. Walandungo, S. Th, M. Si
S
|
aat anda
mendengar ada sebuah kampung yang terkenal kejahatannya, bersediakah anda jika
ada penugasan melayani di kampung tersebut? Dalam konteks dunia kita sekarang,
kemungkinan besar anda menolak. Mentalitas kebanyakan orang, berada dalam
spirit menghindari tantangan dan cenderung suka nyaman. Pergumulan acapkali
dipandang negatif. Dan karena itu sedapat mungkin kita menolak berada di jalan
itu.
Aura semangat
itu ada pada Yunus. Setelah melalui proses mempertimbangkan segalanya, Yunus
memilih ke Tarsis daripada ke Niniwe. Tarsis, secara ekonomis lebih menjanjikan
daripada Niniwe. Di Tarsis, Yunus bisa tidur nyenyak. Di Tarsis, iklim
kehidupan lebih menyejukkan daripada di Niniwe. Mengikuti alur logikanya, Yunus
pun bersikeras ke Tarsis. Yunus ingin menikmati hidup daripada memperjuangkan
kehidupan.
Niniwe, memang
punya cerita sangar dan mengerikan. Di Niniwe, tawanan perang diperlakukan
seperti binatang tanpa nilai. Perempuan hamil misalnya, dibelah dua dengan
pedang. Penyiksaan bagi orang asing berlangsung di mana-mana. Pendek kata,
orang Niniwe berlaku keji pada orang asing. Sungguh masuk akal, jika Yunus
menolak panggilan Tuhan. Walau secara tidak terbuka, kepergiaannya ke Tarsis
membuktikan pembangkangannya. Yunus berani menantang Tuhan. Yunus mengabaikan
perintah ilahi dan berbalik arah ke jalan lain. Yunus mengikuti pertimbangan
akal budinya.
Di sini kita
melihat dua kutub yang berseberangan. Perintah Tuhan sepertinya kurang
menyenangkan jika di jalankan. Pertimbangan akal budi lebih menjanjikan dan
nikmat. Sisi kemanusiaan kita tentu berpihak pada kebutuhan tubuh. Yunus
berpikir dan berlaku demikian.
Apa yang menimpa
Yunus, menjadi godaan bagi kita, kini. Hampir setiap hari kita berhadapan dengan
dua pertimbangan: akal budi dan firman Tuhan. Mengikuti pertimbangan akal budi
sebenarnya baik. Bukankah tubuh ini pun menuntut diperlakukan dengan adil? Saat
lapar, tubuh menuntut makan. Saat terluka, tubuh meringis minta diobati. Tubuh
ini kurang berkompromi dengan penderitaan.
Ke Niniwe, itu
penderitaan. Penduduknya, selalu digambarkan sebagai manusia tanpa hati nurani.
Bengis. Kejam. Berpikir dan bertindak tidak manusiawi. Yunus, tentu saja
terguncang. Pikirannya limbung, hatinya merana. Yunus mengumpulkan
keberaniannya dan pada akhirnya memutuskan: lari dari hadapan Tuhan.
Dalam alunan
gelombang yang kecil, membesar dan pecah menjadi ombak, Tuhan berupaya
menyadarkan Yunus atas kekeliruannya. Upaya itu tidak membuahkan hasil karena
Yunus hanyut dalam tidurnya. Pada akhirnya, apa boleh buat. Tuhan menurunkan
angin rebut ke laut. Kapal pun bergoncang. Semua penghuni kapal nyaris tewas.
Di puncak
terpaan angin yang kian menjadi-jadi, Yunus menyerah dan berkata, “Angkatlah
aku, campakkanlah aku ke dalam laut…” Saya mengajak kita semua membaca lambat
kata demi kata dalam ayat 12. Saat keselamatan banyak orang terancam, Yunus mengambil
tindakan berani, “angkatlah aku, campakkanlah aku ke dalam laut..”
Lepas dari
kesalahannya, Yunus pada akhirnya berani bertanggung jawab. Sikap ini, terasa
langkah di abad ini. Banyak orang lebih senang sesamanya hancur. Saat melihat
orang lain nyaris binasa, jarang sekali ada orang yang tampil berani seperti
Yunus. Kita cenderung bersembunyi ibarat tikus. Kita cenderung diam ibarat
burung hantu.
Tuhan tidak
menghendaki hidupmu ibarat tikus atau burung hantu. Untuk itu, ada alunan
gelombang masalah Tuhan kirim mengingatkanmu. Ada saja ombak pergumulan terutus
untuk membuatmu siuman. Dan jika itu belum juga menyadarkanmu,…angin ribut
prahara akan menerpamu. Waspadalah, sebelum segalanya menjadi terlambat. Tuhan
mendambakan kita kembali pada-Nya. (djw)
terima kasih
BalasHapus