Rabu, 18 Februari 2015

Yunus 1:1-17 (Cara Tuhan Menegur)

Pembacaan Alkitab : Yunus 1:1-17



Cara Tuhan Menegur

 Pdt. D. J. Walandungo, S. Th, M. Si

S
aat anda mendengar ada sebuah kampung yang terkenal kejahatannya, bersediakah anda jika ada penugasan melayani di kampung tersebut? Dalam konteks dunia kita sekarang, kemungkinan besar anda menolak. Mentalitas kebanyakan orang, berada dalam spirit menghindari tantangan dan cenderung suka nyaman. Pergumulan acapkali dipandang negatif. Dan karena itu sedapat mungkin kita menolak berada di jalan itu.

Aura semangat itu ada pada Yunus. Setelah melalui proses mempertimbangkan segalanya, Yunus memilih ke Tarsis daripada ke Niniwe. Tarsis, secara ekonomis lebih menjanjikan daripada Niniwe. Di Tarsis, Yunus bisa tidur nyenyak. Di Tarsis, iklim kehidupan lebih menyejukkan daripada di Niniwe. Mengikuti alur logikanya, Yunus pun bersikeras ke Tarsis. Yunus ingin menikmati hidup daripada memperjuangkan kehidupan.

Niniwe, memang punya cerita sangar dan mengerikan. Di Niniwe, tawanan perang diperlakukan seperti binatang tanpa nilai. Perempuan hamil misalnya, dibelah dua dengan pedang. Penyiksaan bagi orang asing berlangsung di mana-mana. Pendek kata, orang Niniwe berlaku keji pada orang asing. Sungguh masuk akal, jika Yunus menolak panggilan Tuhan. Walau secara tidak terbuka, kepergiaannya ke Tarsis membuktikan pembangkangannya. Yunus berani menantang Tuhan. Yunus mengabaikan perintah ilahi dan berbalik arah ke jalan lain. Yunus mengikuti pertimbangan akal budinya.
Di sini kita melihat dua kutub yang berseberangan. Perintah Tuhan sepertinya kurang menyenangkan jika di jalankan. Pertimbangan akal budi lebih menjanjikan dan nikmat. Sisi kemanusiaan kita tentu berpihak pada kebutuhan tubuh. Yunus berpikir dan berlaku demikian.

Apa yang menimpa Yunus, menjadi godaan bagi kita, kini. Hampir setiap hari kita berhadapan dengan dua pertimbangan: akal budi dan firman Tuhan. Mengikuti pertimbangan akal budi sebenarnya baik. Bukankah tubuh ini pun menuntut diperlakukan dengan adil? Saat lapar, tubuh menuntut makan. Saat terluka, tubuh meringis minta diobati. Tubuh ini kurang berkompromi dengan penderitaan.
Ke Niniwe, itu penderitaan. Penduduknya, selalu digambarkan sebagai manusia tanpa hati nurani. Bengis. Kejam. Berpikir dan bertindak tidak manusiawi. Yunus, tentu saja terguncang. Pikirannya limbung, hatinya merana. Yunus mengumpulkan keberaniannya dan pada akhirnya memutuskan: lari dari hadapan Tuhan.

Dalam alunan gelombang yang kecil, membesar dan pecah menjadi ombak, Tuhan berupaya menyadarkan Yunus atas kekeliruannya. Upaya itu tidak membuahkan hasil karena Yunus hanyut dalam tidurnya. Pada akhirnya, apa boleh buat. Tuhan menurunkan angin rebut ke laut. Kapal pun bergoncang. Semua penghuni kapal nyaris tewas.
Di puncak terpaan angin yang kian menjadi-jadi, Yunus menyerah dan berkata, “Angkatlah aku, campakkanlah aku ke dalam laut…” Saya mengajak kita semua membaca lambat kata demi kata dalam ayat 12. Saat keselamatan banyak orang terancam, Yunus mengambil tindakan berani, “angkatlah aku, campakkanlah aku ke dalam laut..”

Lepas dari kesalahannya, Yunus pada akhirnya berani bertanggung jawab. Sikap ini, terasa langkah di abad ini. Banyak orang lebih senang sesamanya hancur. Saat melihat orang lain nyaris binasa, jarang sekali ada orang yang tampil berani seperti Yunus. Kita cenderung bersembunyi ibarat tikus. Kita cenderung diam ibarat burung hantu.
Tuhan tidak menghendaki hidupmu ibarat tikus atau burung hantu. Untuk itu, ada alunan gelombang masalah Tuhan kirim mengingatkanmu. Ada saja ombak pergumulan terutus untuk membuatmu siuman. Dan jika itu belum juga menyadarkanmu,…angin ribut prahara akan menerpamu. Waspadalah, sebelum segalanya menjadi terlambat. Tuhan mendambakan kita kembali pada-Nya. (djw)

1 komentar: