Rabu, 18 Februari 2015

Kisah Para Rasul 5:1-11 (Kejujuran)


Pemb. Alk. : Kis Par 5:1-11 
Nats Pemb :Amsal 11:3

Ditulis Oleh :Pdt. Julisan Derek

Kejujuran


D
i era tahun 70-an, grup band D’Loyds menghipnotis generasi muda dengan penggalan pop yang untaian syairnya: bukannya emas, bukan istana sebagai tandanya cinta, hanyalah satu selalu kupinta, jujur berkata dan tindakan.
Dari syair lagu ini, kita bisa mengerti bahwa langgengnya hubungan cinta, hubungan persaudaraan, persahabatan, tidak hanya semata ditentukan oleh materi, tetapi kejujuran dalam berucap dan bertindak. Bukan berarti yang namanya materi tidak penting, tetapi materi akan membawa manfaat jika dilandasi pada kejujuran. Banyak orang mengejar, mengupayakan materi sebanyak mungkin, tapi ujung-ujungnya ia tidak menemukan kebahagiaan, karena kejujuran ia abaikan. Kejujuran menjadi sangat penting karena berkaitan dengan sikap dan perilaku seseorang. Dalam dunia yang semakin modern, apakah sadar atau tidak sering terdengar ucapan: masihkah diperlukan kejujuran?

Bacaan di saat ini membantu kita menjawab pertanyaan tersebut. Ananias dan Safira, pasangan suami istri dikenal di kalangan komunitas Kristen karena ketidak jujuran mereka. Dimana-mana kita mendengar kalau orang tidak jujur, maka rujukannya: jangan jadi Ananias dan Safira.
Dari cerita sebelumnya, penulis Kisah mengulas bagaimana cara hidup jemaat pertama yang terinspirasi untuk memberitakan tentang Yesus dengan berbagai cara agar dari pemberitaan itu jemaat bertumbuh. Warga jemaat yang diilhami oleh kuasa Roh Kudus melalui kesaksian para Rasul, bertekad untuk bersatu dalam banyak hal, mereka sehati dan sejiwa. Bukan hanya bersaksi lewat kata-kata, tetapi mereka juga sepakat untuk menjual harta milik mereka dan dipersembahkan kepada Tuhan. Mereka memahami apa yang mereka punyai adalah milik bersama.

Jemaat mula-mula sadar bahwa pertumbuhan iman juga ditentukan dengan tersedianya materi untuk memfasilitasi pelayanan. Sungguh luar biasa kesatuan hati, tekad dan pikiran mereka. Tidak terkecuali pasangan suami istri, Ananias dan Safira. Mereka sepakat untuk menjual sebidang tanah, tapi persoalannya mereka tidak jujur, baik terhadap Tuhan, terhadap rasul-rasul, termasuk tidak jujur pada diri mereka sendiri. Hasil yang diperoleh dari penjualan tanah tidak sepenuhnya dipersembahkan kepada Tuhan, tetapi hanya sebagian. Mereka pun bersekongkol.

Konspirasi (persekongkolan) yang dianggap tidak akan membawa akibat apa-apa, ternyata berakibat fatal. Baik Ananias, maupun Safira, mati secara tragis dalam jangka waktu yang hampir bersamaan. Ketidak jujuran yang membawa petaka. Setiap orang bisa berkonspirasi untuk banyak hal, termasuk dalam hal keuangan, tapi ingat Roh Kudus tidak bisa didustai. Meminjam syair lagu: di hadapan manusia boleh kau bersandiwara, tapi jangan kepada Tuhan. Kejujuran adalah kunci sukses dari sebuah keberhasilan, tapi ketidakjujuran membawa bencana. Orang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi orang yang tidak jujur dirusak oleh kecurangannya (Amsal 11:3).

Peristiwa kematian tragis yang menimpa Ananias dan Safira adalah pelajaran bagi semua orang untuk bersikap jujur dalam banyak hal. Pasca kematian keduanya ada dampak positif bagi jemaat yang ketakutan mendengar peristiwa itu. Ada efek jera untuk tidak ikut-ikutan dalam ketidakjujuran.

Kita bersyukur atas kejujuran penulis Kisah Para Rasul yang mengisahkan peristiwa ini. Kejujuran penulis tidak dimaksud agar kita boleh berkonspirasi dengan ketidakjujuran. Bukan juga sebagai sebuah pembenaran karena manusia itu lemah dan terbatas. Penulis ingin jujur mengemukakan bahwa dinamika pelayanan di bidang apa saja masih sering diwarnai oleh ketidakjujuran, baik di lingkungan rumah tangga, dalam relasi persahabatan, bahkan dalam komunitas keagamaan.

GMIST sebagai lembaga keagamaan terbesar dibumi Sangihe dan Sitaro sedang dan sementara berupaya untuk menempatkan posisinya sebagai gereja yang terus bersekutu, bersaksi dan melayani. Tugas ini tidak mudah, membutuhkan persepsi yang sama dari semua komponen, pelayan dan warga jemaat. Sebuah tantangan besar ketika kita menghendaki GMIST yang maju dan mandiri dalam semua aspek, maka pertanyaannya adalah: apakah kejujuran dalam menata pelayanan masih merupakan tekad bersama? Ibarat berjalan di panas terik yang melelahkan, seperti petani yang harus bertani di musim kemarau, kerjanya keras, tapi hasilnya sedikit. Berkeringat banyak, kepanasan, kelelahan tanpa sukacita yang mendalam. Itulah kenyataan kita.

Setiap orang pasti ingin sukses dan berhasil. Setiap orang ingin hidup sejahtera. Hidup seperti itu kedengarannya mewah, tapi prakteknya sukar. Menjadi semakin sukar ketika kita berprinsip: semua bisa diatur. Apalagi kalau kekuasaan dan uang dipandang sebagai senjata pamungkas. Kejujuran dan ketulusan, disitulah kuncinya. Karena itu, bersikaplah jujur mulai dari diri sendiri. Jujur dengan siapa saja, jujur dalam menata pekerjaan dan pelayanan kita. Mari kita membuka arah pandangan kita seluas mungkin. Jangan hanya melihat pada persoalan yang sementara kita hadapi. Ketika kita mampu membuka pandangan kita ke depan, maka harapan akan berpancarnya komunitas GMIST yang maju akan membuahkan hasil yang baik.(jdrk)

2 komentar: